Tuesday, September 29, 2009

Komunikasi dalam Mengajar

Dulu waktu saya jadi murid, guru saya yang banyak bicara sementara saya lebih banyak diam. Sekarang, dalam profesi sebagai pengajar di beberapa kelas pelatihan, mau tidak mau saya juga harus berbicara, terutama pada waktu menjelaskan sebuah konsep.

Rasanya masih segar dalam ingatan saya, sebuah peristiwa di masa SD dulu. Ada murid yang dilabel nakal oleh guru-guru. Begitu terkenal si murid ini akan kenakalannya, sehingga seringkali ia dituduh melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak dia lakukan. Murid-murid lain (kalau berani) juga dengan mudah menimpakan kesalahan pada dia. Guru-guru juga sudah memiliki prasangka pada murid tersebut. Dalam berkata-kata kepada murid tersebut, yang terdengar hanya larangan dan bentakan. Hampir tidak ada guru yang berkata manis pada dia. Anak itu akhirnya tinggal kelas.

Entah kenapa saya bersimpati pada murid tersebut. Saya kemudian tahu dia dari keluarga kurang mampu, ayahnya penjual kompor minyak tanah dan ibunya buruh cuci. Secara ekonomi memang tidak memadai karena saudaranya ada 5. Saya lalu ajak dia main ke rumah. Saya pinjami buku-buku yang sudah tidak diperlukan karena saya naik kelas. Dia berjanji akan mengembalikan setelah 1 tahun pelajaran. Saya juga punya beberapa kelebihan buku tulis, yang juga saya serahkan pada dia. Ternyata dia jago main gitar, dan bersedia mengajari saya.

Kami berbicara banyak hal. Sambil dia bernyanyi di pucuk pohon cemara, kadang-kadang saya membantunya memahami pelajaran, sesekali ibu datang membawa gorengan. Wah indah betul persahabatan saat itu. Dan saya menemukan bahwa teman saya ini ternyata mampu menyerap materi pelajaran dengan cepat. Hampir setiap hari kami bertemu. Dia selalu datang naik sepeda, dengan membawa gitar bikinan sendiri dan tas berisi buku pelajaran.

Di akhir tahun pelajaran, dia berhasil naik kelas dan masuk 3 besar. Semua orang termasuk guru-gurunya heran dengan prestasinya ini. Lalu dia benar-benar menepati janjinya mengembalikan buku setelah 1 tahun pelajaran lewat dan berkata bahwa dia senang dengan persahabatan ini. Untuk pertama kalinya menurut dia, ada orang mau berkomunikasi kepada dia secara positif. Tidak melarang, tidak berprasangka, mau menghargai dan menerima pendapat orang. Dan justru dengan cara seperti ini, dia mau mengubah dirinya.

Pada saat mendengar kata-katanya itu, saya sungguh-sungguh terharu dan menyadari sepenuhnya bahwa apa-apa yang kita ucapkan keluarkan dari mulut kita benar-benar seperti pedang bermata dua. Kata-kata kita bisa berakibat menghancurkan seseorang tetapi juga bisa membangun seseorang.

Sungguh sebuah pelajaran berharga yang bisa saya tangkap dan saya ingat-ingat betul sampai sekarang. Dan terbawa pada waktu saya harus mengajar di depan kelas. Ada orang bijak yang bilang bahwa kita bisa berjalan di sebelah kiri jalan atau di sebelah kanan jalan. Tapi kita tidak bisa berjalan di tengah jalan. Demikian pula akibat dari kata-kata kita. Bisa berakibat baik atau buruk terhadap seseorang dan tidak pernah berakibat setengah-setengah.

Kata kita pilihan kita. Kata-kata yang keluar dari mulut kita adalah hasil dari sebuah proses yang tidak sederhana. Dalam menentukan kata apa yang akan dikeluarkan, ada ruang untuk memilih. Jadi kata yang keluar adalah pilihan kita sendiri.

Harus diakui kadang-kadang kita ’memilih untuk menyakiti’ lawan bicara kita. Kita sengaja menggunakan kata-kata yang kita tahu akan meyakiti hatinya, menjatuhkan harga dirinya, dan membuat dia terluka.

Harus diakui pula bahwa menggunakan kata-kata positif untuk tujuan baik bukan hal yang mudah. Jika ada orang berbuat salah atau mendapat hasil yang jelek, kita cenderung menyalahkan dan merendahkan. Pernah seorang teman mengomentari hasil rapor anaknya yang kebetulan jelek : Hey, that’s a silly things for a clever person like you.

Harus diakui pula bahwa kadang-kadang dalam peran sebagai pengajar, seperti ada kekuasaan atau otoritas lebih. Perasaan ini yang menggoda kita untuk mencela peserta didik yang bodoh (dasar tukang bengong kalau di kelas), menggunakan kata-kata yang meneror (masa gitu aja nggak bisaa…!!), mengancam (kalau kelas ini nggak bisa diam, akan dijemur semuanya !), atau menghukum (sekarang tuliskan : Saya memang anak bandel 100 x).

Mengingat dampak dari kata-kata kita sebagai pengajar terhadap anak didik, maka sebaiknya kita betul-betul memilih kata-kata yang tidak akan menghancurkan dia (bodoh, payah, dungu, keterlaluan, nggak pakai otak, dsb), tapi justru mendorong atau memacu dia (ayo kamu pasti bisa, sedikit lagi benar, jangan takut, wah hebat, semangat, dsb).

Bagaimana supaya kita bisa menggunakan kata-kata yang positif dalam mengajar ?

1. Persiapan
Persiapkan diri Anda sebaik-baiknya. Kuasai materi, kalau sempat latihan sebentar untuk membawakan di rumah.
2. 10 di dahi
Bayangkan Anda melihat angka 10 sebagai simbol kesempurnaan di dahi setiap peserta didik Anda. Ini akan membantu Anda mengubah cara pandang terhadap anak didik menjadi lebih positif, sehingga berakibat pemilihan kata akan lebh baik.
3. Big Me Big You
Tempatkan posisi psikologis Anda sejajar dengan peserta didik. Jangan merasa Anda lebih pandai atau lebih penting dari siapapun di kelas.Datanglah dengan mentalitas bahwa Anda juga ingin belajar. Dengan demikian Anda akan menghormati mereka dan akan memilih kata-kata yang pantas.
4. Dare to Fail
Jangan takut untuk gagal. Lebih penting memaknai proses belajar apa yang ada dari setiap kegagalan. Beri ruang pada murid untuk gagal. Dari sinila mereka akan belajar. Kalau mereka gagal, jangan dicela atau dimarahi. Ajak mereka menemukan dimana kesalahannya dan bagaimana memperbaikinya
5. Rehearse rehearse and rehearse
Usahakan dalam pembicaraan sehari-hari (kepada teman, anak, kolega) menggunakan kata-kata positif. Hindari gosip dan membicarakan orang di belakang dia.

Meskipun berat, mari kita mencoba berkata-kata dengan tujuan yang baik kepada peserta didik kita. Mari memilih kata-kata yang positif. Karena akan baik untuk kita dan baik untuk mereka.

Salam

Tuesday, September 08, 2009

SIKAP TUBUH DALAM KELAS

Beberapa siswa pernah mengeluh pada saya bahwa mereka sering merasa mengantuk di kelas. Sudah cuci mukapun masih tetap mengantuk. Ada juga yang kelihatannya memperhatikan penjelasan guru, menatap wajah guru, tapi setelah selesai pelajaran tidak ingat sedikitpun tentang penjelasan guru. Kenapa hal ini bisa terjadi ? Bagaimana mengatasinya ?

Ada beberapa kemungkinan tentang hal ini. Salah satunya adalah posisi tubuh selama di kelas. Tahukah Anda bahwa antara tubuh dan pikiran ternyata saling berhubungan ? Misalnya saja pada waktu tubuh kita mengambil posisi leyeh-leyeh (seperti putri duyung) maka secara tidak sadar kita mengirim signal ke otak kita untuk istirahat juga. Akibatnya kita akan segera merasa mengantuk dan otak akan shut-down sehingga tidak heran kalau kita pada akhirnya tidak mengerti isi pelajaran yang baru saja disampaikan.
Mengingat adanya mind and body connection inilah maka di dalam kelas-kelas quantum learning, sikap tubuh selama berada di kelas menjadi hal yang betul-betul diperhatikan oleh pengajar maupun siswa. Lalu bagaimana sikap tubuh ideal di dalam kelas ?

Quantum Learning memperkenalkan sebuah cara yang dapat disingkat dengan kata TEGAP (Tegak, Eksplorasi, Gaul dengan guru, Anggukan kepala, Posisi condong).

Tegak
Usahakan posisi tubuh Anda tegak, tidak bersandar pada kursi. Juga kaki tidak diselonjorkan. Dengan mengambil posisi seperti ini, tubuh Anda mengatakan pada otak untuk berjaga (alert), sehingga tidak akan mengantuk.Jika ada meja, letakkan tangan Anda di meja. Wajah menatap kepada pengajar.

Eksplorasi

Salah satu hal yang bisa membuat Anda tetap fokus pada pelajaran adalah dengan mengajukan pertanyaan. Jika ada yang membingungkan dari penjelasan pengajar, silahkan angkat tangan Anda dan minta penjelasan. Beberapa orang bahkan menggunakan teknik bertanya ini untuk menghindari ngantuk karena tidak adanya variasi dari pengajar. Tentu saja Anda tidak disarankan terlalu sering bertanya karena bisa mengganggu jalannya pelajaran.


Gaul dengan guru

Relasi dengan guru tidak hanya dibangun di kelas. Di luar kelas pun Anda dapat menanyakan hal-hal yang belum Anda pahami dari pelajaran yang. Untuk itu murid-murid disarankan untuk mau bergaul dengan guru, dalam arti mau melakukan tanya jawab dengan guru di luar kelas. Hal ini bukan berarti anda cari-muka dari guru. Seringkali guru tidak cukup punya waktu untuk menerangkan secara detail isi dari sebuah pelajaran, karena batasan waktu mengajar di sekolah. Anda bisa mencari kejelasan di lain waktu.


Anggukan kepala
Pada waktu Anda menyimak penjelasan guru, jangan lupa untuk menganggukan kepala sekali-sekali.Hal ini akan membuat guru termotivasi karena mendapat respons yang positif dari anak didiknya. Selain itu dengan melakukan anggukan kepala, Anda juga mengatakan kepada tubuh Anda mengatakan kepada otak Anda bahwa Anda mengerti penjelasan yang diberikan.

Posisi condong
Pada waktu Anda duduk di kursi, setelah badan Anda dalam posisi tegak, maka Anda disarankan untuk membuat badan Anda dalam posisi agak condong ke depan. Jadi tidak sekedar tegak, tapi condong ke arah depan. Hal ini akan membuat tubuh mengirim sinyal ke otak bahwa Anda sedang ingin menyimak penjelasan, dan butuh konsentrasi. Akibatnya otak akan waspada dan membantu Anda untuk menyimak penjelasan guru.

TEGAP sudah diterapkan oleh ribuan murid-murid yang pernah mendapat pengajaran Quantum Learning dan mereka mengatakan memang perbedaannya banyak sekali.
Jika Anda ingin berhasil mempertahankan konsentrasi di kelas, maka teknik TEGAP ini layak untuk dicoba.

Selamat mencoba.

Keuntungan Tuan Rumah

Pernah lihat pertandingan olahraga antara tim tuan rumah melawan tim tandang ?
Saya beberapa kali menyaksikan pertandingan seperti itu. Misalnya waktu pertandingan bulutangkis Thomas Cup di Jakarta antara Indonesia melawan China. Atau pertandingan sepakbola MU di Old Trafford antara MU melawan Chelsea. Entah mengapa, biasanya tim tuan rumah merasa lebih percaya diri dan lebih sering menang di kandang sendiri daripada tim tandang.

Tim tuan rumah umumnya mendapat dukungan yang luar biasa dari penontonnya. Dukungan diperoleh dari sejumlah tradisi-tradisi yang memang dikembangkan. Misalnya dengan nyanyian, suara tepukan, teriakan, dsb. Pemain tim tuan rumah juga lebih mengenali setiap titik di lapangan bertandingnya. Mereka tahu area mana yang jelek, ubin mana yang pecah, rumput mana yang gundul, dsb. Hal ini membuat mereka merasa lebih aman waktu bertanding, apalagi karena bermain di area sendiri.

Jadi secara umum bisa disimpulkan bahwa jika sebuah tim berada di kandangnya sendiri, maka performance mereka umumnya akan lebih baik. Mereka akan lebih percaya diri dan kans untuk menang menjadi lebih besar. Hal ini yang kemudian dikenal dengan istilah Keuntungan Tuan Rumah (Homecourt Advantage).

Dari pengamatan ini, kita bisa menemukan beberapa insight menarik yang bisa kita bawa ke dalam ruang belajar kita. Bayangkan jika peserta didik datang ke kelas kita bertingkah laku seperti tim tandang. Mereka merasa tidak nyaman dengan kelasnya, tidak mendapat dukungan, tidak merasa aman, dsb. Dalam kondisi ini tentu saja performance mereka dalam belajar tidak akan optimal.

Tapi bayangkan jika para peserta didik kita merasa seperti berada di rumahnya sendiri. Mereka akan bertingkah laku seperti tim tuan rumah. Mereka merasa mendapat dukungan, merasa aman, dan merasa menjadi anggota yang diterima di kelasnya. Dengan kondisi seperti ini, maka mereka akan dapat menampilkan performancenya dalam belajar secara optimal.

Sebagai pengajar, sudah menjadi kewajiban kita semua untuk menciptakan suasana yang bisa membuat para peserta didik merasa di rumahnya sendiri. Dengan demikian, para peserta didik akan memperoleh sejumlah keuntungan dari situasi ini. Beberapa cara yang disarankan dalam quantum teaching misalnya : membangun tradisi-tradisi di kelas untuk membuat peserta merasa diterima di kelasnya (muncul sense of belonging), gunakan kata-kata positif yang mendukung dan tidak menyalahkan peserta didik. Ingat bahwa kesalahan adalah awal dari proses belajar. Selain itu, pengajar juga perlu menciptakan suasana aman (secara fisik dan psikologis) bagi peserta didik, sehingga mereka tidak memiliki kecemasan dalam belajar. Dengan demikian, diharapkan mereka bisa belajar secara optimal.

Bagaimana dengan Anda sendiri. Apa yang akan Anda lakukan untuk menumbuhkan perasaan berada di rumah sendiri bagi para peserta didik Anda ?
(PEL/BH)

Thursday, May 07, 2009

Menguak Ujian Nasional

MENGUAK UJIAN NASIONAL



Akhir-akhir ini banyak orangtua yang mengalami sindrom H2C (Harap Harap Cemas). Mereka menyediakan diri untuk mendampingi anak-anak belajar, ikut berdoa dan sibuk mencari materi belajar untuk anaknya.


Di tempat lain sekelompok orangtua bersama-sama melakukan sembahyang, misa dan kebaktian untuk kelulusan anaknya.


Di sebuah sekolah disiapkan tim sukses agar siswa di sekolah tersebut lebih banyak yang lulus daripada yang tidak. Bahkan dulu pernah ada guru yang diinstruksikan datang pagi-pagi, membuka soal dan mengerjakannya, lalu memberitahukan jawabannya pada murid.

Semua usaha itu semata-mata agar sang buah hati, atau para siswa lulus Ujian Nasional (UN).


Mengapa semua kehebohan ini terjadi ?


Tentu saja semua hal tersebut bisa terjadi karena UN telah ditetapkan menjadi salah satu kriteria kelulusan seseorang dari jenjang pendidikan yang sedang dijalaninya. Soal UN dibuat oleh negara, dan belum tentu materi yang dujikan diajarkan di sekolah. Dalam konteks ini coba bayangkan kondisi murid-murid yang bukan di Jawa atau Jakarta. Belum meratanya kualitas pendidikan kita membuat banyak pihak meragukan atau bahkan bersikap negatif terhadap UN.

Namun hal ini sudah tidak bisa diganggu gugat, dan terus dijalankan. Akibatnya memang muncul ekses-ekses negatif, yang menyebalkan dan kadang-kadang lucu. Perilaku itu muncul baik dari orangtua maupun sekolah. Di sekolah selain menyiapkan tim sukses juga terjadi pengatrolan nilai dan berbagai perilaku curang lainnya. Logikanya sederhana. Jika murid yang lulus di sekolah ini sedikit, maka tidak ada orangtua yang mau mendaftarkan murid ke sekolah tersebut dan bisa sekolah bisa ditutup, sehingga para guru kehilangan pekerjaan.


Ada sekolah-sekolah yang berubah fungsi menjadi seperti bimbingan belajar (Bimbel) yang dulu ada untuk menjawab soal masuk perguruan tinggi negeri. Mereka mengajarkan bagaimana menjawab soal secara tepat dan cepat. Entah di masa proses pendidikan kemudian di letakkan.

Buat beberapa orang, hal ini sungguh membingungkan. Berdasarkan undang-undang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) dinyatakan bahwa pendidikan Indonesia berbasis kompetensi (kognitif, afektif dan psikomotor). Sementara di UN yang diujikan jelas materi kognitif. Lalu dalam sebuah wawancara dengan seorang anggota dewan yang mengurusi soal pendidikan di sebuah TV swasta, dikatakan bahwa undang-undang menyatakan bahwa sekolah diberi kewenangan untuk mengelola proses pendidikan secara mandiri (manajemen berbasis sekolah), termasuk pengujian materi hasil pengajarannya. UN jelas tidak sejalan dengan hal ini. Padahal kalau dipikir-pikir, guru sekolah yang bersangkutan lah yang tahu tentang kompetensi anak didiknya serta tahu hal-hal penting mana yang perlu diajarkan kepada muridnya agar kelak ia berhasil. Pertanyaannya adalah apakah hal-hal seperti ini berhasil ditangkap oleh para pembuat soal, yang hasilnya kemudian dijadikan penentu lulus tidaknya siswa.


Tentang Ujian (Tes)


Di bidang psikologi yang berurusan dengan pengukuran, secara mudah tes biasanya memiliki 2 tujuan besar, yaitu untuk melihat penguasaan dan membuat peramalan. Penguasaan maksudnya untuk mengetahui apakah siswa telah memahami materi-materi tertentu, mulai dari teori sampai dengan aplikasinya. Misalnya ujian tentang operasi matematika (tambah, kurang, bagi dan kali).


Sementara peramalan dimaksudkan untuk membuat perkiraan, apakah seseorang akan memiliki kemungkinan berhasil di masa depan, berdasarkan hasil tes dia saat ini. Misalnya orang yang berhasil mengerjakan tes operasi matematika nantinya akan berhasil bekerja sebagai insinyur.

Untuk bisa membuat alat tes yang baik umumnya diperlukan dua hal utama yaitu validitas dan reliabilitas. Valid artinya bahwa alat tes tersebut memang benar-benar mengukur apa yang ingin diukur. Misalnya jika kita ingin mengukur tentang kemampuan matematika seseorang, jangan tercampur dengan pengukuran atas penguasaan fisikanya (yang banyak memanfaatkan dalil-dalil matematika).


Reliabilitas artinya alat ini cukup dapat diandalkan untuk mengukur pada orang-orang yang karakteristiknya relatif mirip dan jika diulang dalam kurun waktu tidak terlalu jauh, masih memberikan hasil yang sama. Bayangkan saja sebuah alat tes yang bisa mengetahui kreativitas seseorang. Hari ini dinyatakan cukup dan seminggu kemudian menjadi sangat kreatif (meskipun bisa terjadi perubahan yang sangat drastis, umumnya hal ini jarang terjadi), maka reliabilitas alat bisa kita ragukan. Atau jika alat tersebut digunakan untuk sekelompok anak di sebuah SMP Negeri X dan hasilnya sangat berbeda dengan anak-anak di SMP lain yang karakterisiknya sangat mirip, maka reliabilitas (terandalan) alat tersebut perlu mendapat perhatian.

Statistik menyediakan metode-metode tertentu untuk mengukur validitas dan reliabilitas sebuah alat tes.


Dengan demikian, jika UN dianggap sebagai sebuah alat tes, apakah dia akan berperan untuk menentukan penguasaan seseorang akan materi tertentu atau justru mengambil peran sebagai peramal keberhasilan siswa di jenjang selanjutnya. Ini perlu dipikirkan juga.


Jika UN dimaksudkan untuk menguji penguasaan materi (apalagi secara nasional), maka materi apa yang diberikan hendaknya sesuai dengan yang diujikan. Akan menjadi sulit apabila pemberi materi dan penguji adalah pihak yang berbeda, dengan standar kualitas yang berbeda-beda pula antar daerah satu dengan daerah yang lain. Benar bahwa ada patokan kurikulum yang berskala nasional, tapi implementasi di lapangan tampaknya tidak bisa dianggap seragam.


Jika UN dimaksudkan untuk membuat peramalan, apakah kita berani mengatakan bahwa siswa yang bagus dalam UN tingkat SD akan berhasil di jenjang SMP nanti. Dan jika UN SMP baik dia akan berhasil di SMA, dan apakah jika SMA baik dia akan berhasil di perguruan tinggi ?

Dan yang terpenting adalah apakah soal-soal itu sudah melalui uji validitas dan reliabilitas sehingga layak menjadi sebuah penentu kriteria lulus tidaknya seorang siswa.


Memposisikan Ulang UN


Dengan mempertimbangkan berbagai hal yang ada, UN tetap memiliki tujuan yang baik yaitu memacu kualitas lulusan program pendidikan kita. Namun cara pragmatis seperti ini bisa membawa persoalan lain. Akhirnya yang berprestasi baik akan menyingkirkan yang prestasinya kurang baik. Padahal kita sepakat bahwa pendidikan adalah hak setiap orang di negara ini.

Untuk itu mungkin ada baiknya jika kita menentukan dulu kriteria minimal yang perlu dicapai oleh program pendidikan kita, di seluruh Indonesia. Baru dari situ kita bergerak untuk perlahan-lahan meningkatkan kualitas kita. Dalam konteks ini, UN bisa menjadi sebuah alat yang lebih berfungsi untuk mengukur kemajuan dalam dunia pendidikan kita, untuk mengetahui posisi kita secara nasional saat ini ada dimana.


Jadi UN tidak berperan sebagai penentu kriteria kelulusan siswa, namun sebagai bahan masukan bagi departemen terkait untuk mengetahui apa-apa saja yang perlu dilakukan, dan sudah sampai mana kita saat ini. Hasil UN bisa menjadi sumber informasi, mana yang perlu dibenahi. Apakah kurikulum, ataukah kualitas guru atau metode pengajarannya.

Urusan kelulusan silahkan diserahkan saja kepada sekolah masing-masing. Bahkan jika UN dijadikan alat untuk mengukur kemajuan pendidikan kita, bisa juga dimiliki informasi tentang sekolah mana saja yang perlu mendapat perhatian khusus dan mengapa demikian. Apakah soal prasarana, biaya, atau apapun.


Saya membayangkan pada akhirnya, perlahan-lahan kita bisa melihat peningkatan kualitas pendidikan yang makin lama makin baik untuk seluruh manusia Indonesia, sehingga kita bisa berharap tampilnya manusia-manusia Indonesia yang semakin bisa berpikir kelak. Bagaimana dengan Anda ?

Thursday, April 30, 2009

The Dark and The Bright Side of Video Games

Masih terbayang jelas di ingatan saya, kebiasaan bermain games komputer beberapa puluh tahun yang lalu. Namanya Sim City. Dalam permainan itu kita ditantang untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya populasi di sebuah kota dengan cara membuat kota menjadi sangat menarik untuk dihuni. Begitu intensnya saya bermain, sehingga kuliah jadi terbengkalai, badan kurus karena tidak peduli dengan urusan makan, dan agak terisolasi secara sosial. Hal lain yang mendera adalah rasa nyeri di tangan dan siku yang baru hilang setelah tidak main lagi.

Lalu saya mikir-mikir…kalau saya yang waktu itu hitungannya sudah tergolong dewasa aja bisa sangat senang main komputer games seperti itu, apalagi anak-anak ya…banyak orang tua yang mengeluh bahwa anaknya kalau sudah bermain game, tetap bergeming meskipun dipanggil orangtua atau diminta belajar. Tapi ada juga orangtua yang sengaja membelikan peralatan video games portable supaya anak tidak mengganggu kegiatan orangtua yang lagi meeting atau sibuk urusan lainnya. Diberi permainan ini anak akan diam dan tidak akan pergi jauh-jauh sehingga mudah diawasi… (kasihan dech tuh anak).

Ada Apa Dengan Video-games (AADV) ?

Adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa berbagai jenis permainan khususnya video games sangat disukai oleh kebanyakan anak-anak. Sementara di sisi lain orangtua kerap mengalami kesulitan mengendalikan anak kalau sudah bermain video game Sampai saat ini memang masih ada pro dan kontra terhadap manfaat atau efek dari jenis permainan video games terhadap anak.

Beberapa penemuan terakhir mengisyaratkan bahwa tidak semua video games berakibat negatif karena ada juga juga hal-hal positif dari video games yang dapat dimanfaatkan untuk perkembangan yang menyangkut intelegensi maupun psikologis anak.

Polling yang dilakukan di radio Delta FM beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa kebanyakan orangtua merasa video games lebih banyak memberi pengaruh negatif ketimbang manfaat positifnya. Bahkan ada yang curi-curi bermain Championship Manager pada waktu istrinya sedang tidur. Sang ayah mulai bermain sekitar jam 11 malam sampai jam 3 pagi.

Jadi bukan permainannya yang dikhawatirkan, tapi efek kecanduan dari permainannya itu yang membuat banyak orangtua akhirnya bersikap negatif terhadap video games.

Apa efek negatif dari Video Games ?

Ada yang mengatakan bahwa bermain video games secara perlahan-lahan bisa menumpulkan rasa empati pada anak karena dia akan terbiasa melihat bahkan bermain dengan unsur-unsur kekerasan. Akibatnya berbagai kekerasan seperti memukul, menembak atau membunuh akan dianggap hal yang wajar.

Efek negatif lain adalah mengurangi pergaulan sosial anak. Anak jarang bergaul dengan teman-temannya dan lebih suka menyendiri (asosial). Paling jauh mereka akan bermain dengan teman-temannya yang menyukai games yang sama.

Video game merupakan permainan yang sangat interaktif dan pengaruhnya lebih dahsyat dari televisi. Agresi yang ditawarkan pada anak-anak lebih kuat dibandingkan tontonan di TV. Dalam permainan ini anak tidak sekedar melakukan observasi pasif tapi turut berperan aktif dalam menentukan isi permainan. Padahal menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Beberapa permainan tertentu memang diyakini dapat memicu agresi.

Hal negatif lain adalah bahwa prestasi belajar bisa menurun karena berkurangnya waktu untuk belajar dan kelelahan karena terkuras konsentrasinya untuk bermain game. Selain itu frekuensi komunikasi dengan keluarga menjadi berkurang atau terganggu karena anak akan lebih suka berkomunikasi dengan permainannya daripada dengan orang tuanya.

Ih ngeri ah, lalu memang ada manfaat positif dari main video games ?

  • Video games dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan dan bukan sekedar hiburan, seperti meningkatkan kecerdasan, kreativitas serta kemampuan untuk mengambil keputusan.
  • Sebagai media untuk mengembangkan wawasan anak (seperti permainan yang dilakukan secara interaktif, misal: kalau ada kebakaran apa yang harus ia lakukan)
  • Merupakan hiburan yang menyediakan fun dan bisa menurunkan stress anak. Di sisi lain diskusi tentang cara bermain video games tertentu bisa membuka peluang untuk mengembangkan keterampilan interpersonal
  • Membangun spirit persaingan, teamwork dan kerja sama ketika dimainkan dengan gamer-gamer lain.
  • Membuat anak-anak merasa nyaman dan familiar dengan teknologi – terutama anak perempuan, yang tidak menggunakan teknologi sesering anak cowok.
  • Meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri anak saat mereka mampu menguasai permainan.
  • Mengembangkan kemampuan dalam membaca, matematika, dan memecahkan masalah.
  • Melatih koordinasi antara mata dan tangan, serta skill motorik à waktu reaksi
  • Mengakrabkan hubungan anak dan orangtua. Dengan main bersama, terjalin komunikasi satu sama lain.
  • Dapat membuka wawasan, menambah pengetahuan, meningkatkan kemampuan dan juga atensi terhadap objek-objek yang dilihat (atensi visual).

Oleh karena itu, lebih tepat apabila dikatakan bahwa waktu yang dihabiskan dan jenis permainan video game-lah yang dapat berdampak buruk pada anak.

Apa sih daya tarik Video games bagi anak remaja hingga menyebabkan kecanduan?

  • Karena berisi gambar-gambar bergerak yang penuh warna, situasi yang menantang dan kompetitif, tingkat kesulitan yang beragam, serta adanya interaksi online dengan para pemain lain, merupakan beberapa hal yang menjadikan video games menjadi sangat menarik dan menyenangkan, hingga semakin banyak orang menghabiskan banyak uang dan waktu berjam-jam untuk memainkannya.
  • Ada kemungkinan mengulang dari awal dan tetap aman
  • Rasa penasaran ingin melewati limit (perasaan tidak puas)

Apa saja ciri-ciri anak kecanduan video games?

  • Terus menerus memikirkan kegiatan bermain video game, bahkan ketika sedang belajar atau mengerjakan PR, sehingga anak jadi tidak dapat berkonsentrasi dengan apa yang sedang dilakukannya
  • Lamanya waktu bermain video game semakin bertambah. Anak tidak pernah merasa cukup dan puas bermain video game, sehingga jumlah waktu yang dihabiskan semakin meningkat dari hari ke hari
  • Ingin mengurangi atau berhenti bermain video game tapi tidak berhasil
  • Gelisah atau lekas marah ketika dilarang bermain video game.
  • Bermain game untuk melarikan diri dari masalah atau untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman (seperti rasa takut, khawatir, frustrasi, sedih, rasa bersalah, rasa tidak mampu, tidak berdaya).
  • Setelah kalah, anak tidak berhenti bermain, bahkan penasaran ingin terus bermain dengan harapan mungkin di kesempatan kali ini bisa menang.
  • Berbohong kepada orang tua atau orang lain mengenai penggunaan video game.
  • Tidak peduli melakukan tindakan yang melanggar aturan asalkan bisa bermain video game (tidak peduli terhadap hukuman apapun yang diberikan), misalnya membolos atau mencuri uang demi untuk bermain video game.
  • Lebih memilih bermain video game daripada berkumpul atau berkegiatan bersama keluarga, teman, atau berolahraga
  • Meminta uang kepada orang lain untuk membiayainya bermain video game

Bagaimana cara mengatasi kecanduan game pada anak?

  • Buat kesepakatan sejak awal, misal membatasi waktu anak bermain game sehari-harinya, yaitu maksimal 2 jam per hari
  • Disiplin dan pengawasan orang tua mutlak dilakukan. Cerewet tidak apa-apa.
  • Berikan waktu luang dan perhatian yang banyak kepada anak-anak Anda
  • Orang tua harus lebih selektif dalam mencarikan mainan untuk anak-anaknya. Sebisa mungkin permainan yang memunyai unsur edukatif, bukan permainan yang memertontonkan adegan kekerasan
  • Sebaiknya tidak menaruh peralatan video game atau komputer di kamar tidur anak.
  • Jika sudah terlanjur kecanduan, ya putuskan saja. Pasti ada gejala sakaw sebentar, tapi setelah itu akan normal. Jadilah konsisten dan tega dalam situsi ini.